Pemanfaatan teknologi digital dapat mendorong industri nasional lebih berdaya saing di kancah global dengan menghasilkan produk yang berkualitas, aman, dan sesuai standar. Apalagi dalam era industri 4.0, yang fokus pada penggunaan Internet sebagai penopang utama pada proses produksi.
"Pemerintah memproyeksikan Indonesia akan menjadi negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020 dengan menargetkan 1.000 technopreneur, valuasi bisnis mencapai US$ 100 miliar, dan total nilai e-commerce US$ 130 miliar," kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto.
Daya saing Indonesia masih rendah
Sayangnya, berdasarkan data The IMD World Digital Competitiveness Ranking 2018 yang dipublikasi pada 19 Juni lalu, daya saing Indonesia dalam bidang digital masih tergolong rendah. Indonesia berada pada peringkat 62 dari 63 negara. Padahal, pada tahun 2015, Indonesia menempati posisi 60 dari 63 negara.
Peringkat daya saing digital Indonesia kalah dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Singapura berada di peringkat dua. Malaysia turun peringkat dari 24 ke peringkat 27. Thailand naik peringkat dari 41 ke peringkat 39. Filipina turun dari peringkat 46 ke peringkat 56 tetapi lebih tinggi dari Indonesia.
Indonesia bersama Ukraina, Mongolia dan Peru merupakan urutan lima terbawah di peringkat daya saing sektor digital. "Negara-negara ini tidak hanya berperingkat terendah dalam bakat, tapi mereka juga tidak berinvestasi untuk mengembangkan bakat yang dimiliki," ujar Arturo Bris, Direktur IMD World Competitiveness Center dalam keterangan tertulis.
Peringkat daya saing digital yang dirilis oleh IMD World Competitiveness ini menilai kapasitas dan kesiapan sebuah negara untuk mengadopsi dan mengeksplor peluang baru dalam bidang teknologi digital di sejumlah bidang. Yang masuk dalam penilaian adalah bidang pemerintahan, bisnis, dan keseharian. Elemen terakhir yang dipertimbangkan adalah seberapa baik teknologi terintegrasi dalam bidang ekonomi, pemerintahan, keamanan siber, hingga pembajakan perangkat lunak.
Dari peringkat tersebut, dapat kita lihat bahwa kesiapan negara-negara di Asia untuk menggunakan teknologi dalam keseharian dan bisnis cenderung berada pada tingkat menengah ke bawah.
Susun kebijakan bidang digital
Namun, hal itu bukan berarti bahwa Indonesia dan negara-negara Asia lainnya tak berusaha. Karena selain tanggap terhadap teknologi, diperlukan kebijakan dan ekosistem dari sebuah pemerintahan untuk mendukung perkembangan teknologi digital.
Nyatanya, banyak kebijakan teknologi digital yang dijalankan dengan tidak teratur, seperti memberi insentif yang banyak untuk perusahaan rintisan, padahal tak banyak perusahaan rintisan yang berbakat dan berpotensi.
Seperti yang dikatakan IMD, “Daya saing digital mensyaratkan teknologi yang tersedia dapat diserap oleh masyarakat.” Oleh karena itu, negara harus memiliki ekosistem yang dapat mendukung teknologi digital agar dapat tercipta tenaga kerja yang produktif jika ingin maju dalam bidang teknologi digital.
Singapura berpotensi lebih kompetitif
Founder dari Momentum Works, Jianggan Li, memprediksi bahwa Singapura akan menjadi lebih kompetitif bila pembuat kebijakan dan seluruh masyarakat di sana tetap fokus dan mempertahankan kinerja mereka dalam bidang teknologi digital seperti sekarang ini. Sementara itu, negara-negara berkembang akan berusaha untuk mengejar dalam bidang investasi dan bisnis.
Namun, untuk bisa bersaing dalam bidang teknologi digital secara utuh, tampaknya masih butuh waktu bertahun-tahun bagi Asia bila tak segera membenahi tatanan kebijakan yang ada.
Rekomendasi bacaan:
Apa bedanya data scientist dan data analyst?
3 tantangan Typescript untuk programmer dan developer
Tips nge-charge ponsel biar awet
Sumber:
mediaindonesia.com
kontan.co.id
indotelko.com
cnbcindonesia.com
mediaindonesia.com
techinasia.com