Pernahkan kamu mendengar istilah retensi pajak? Atau pemotongan pajak pihak ketiga? Nah, jika kamu pernah mendengar keduanya, maka setidaknya kamu telah mengetahui sedikit tentang ulasan tentang withholding tax (WHT) berikut ini.
Apa itu WHT?
WHT atau withholding tax adalah proses penarikan dan pembayaran pajak oleh pihak ketiga (Sumber: Pexels)
Withholding tax atau WHT merupakan pemotongan pajak oleh pihak ketiga atau perusahaan dari gaji karyawannya dan kemudian dibayarkan langsung kepada pemerintah. Jumlah yang dipotong untuk WHT ini adalah besaran pajak penghasilan yang harus dibayar oleh karyawan tersebut selama satu tahun.
Sebagai penjelas, WHT umumnya diambil dari pihak yang memberi penghasilan. Sehingga dalam praktiknya, pajak ini ditarik dari seseorang atau perusahaan yang memberi penghasilan terhadap orang lain (penerima penghasilan). Penerima penghasilan ini adalah pihak kedua dalam praktik pajak, sedangkan pihak pertama adalah kantor pajak atau fiskus (petugas penarik pajak). Sejak diterapkan pertama kali pada tahun 1862 di AS, WHT dilatarbelakangi oleh tujuan simplifikasi dan otomatisasi penyetoran pajak dalam kurung waktu tertentu (per bulan) dan tidak lagi melakukan akumulasi di akhir tahun.
Baca Juga: Mengenal e-Billing Pajak: Sistem Pembayaran Pajak Elektronik
Penerapan WHT di Indonesia
Penerapan WHT di Indonesia diatur dengan berbagai dasar hukum yang umumnya adalah UU Pajak Penghasilan (Sumber: Pexels)
Dalam situsnya, Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia menyatakan bahwa withholding tax (WHT) system adalah proses pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk menentukan besaran pajak terutang oleh seorang wajib pajak.
WHT pada dasarnya adalah bentuk perpanjangan tangan seorang petugas pajak (fiskus) melalui pihak ketiga untuk mengumpulkan pajak dari wajib pajak. Kehadiran WHT secara khusus dapat menjadikan kewajiban perpajakan lebih mudah untuk ditunaikan para wajib pajak. Peran pihak ketiga dalam melakukan perhitungan pajak dan langsung melakukan penarikan sejumlah pajak terutang ini dari para wajib pajak.
Pelibatan pihak ketiga yang umumnya adalah perusahaan tempat para wajib pajak bekerja ini dapat memudahkan pihak kantor pajak maupun wajib pajak untuk tanpa perlu menghitung akumulasi pajak terutang di akhir tahun dan lebih nyaman diterapkan dalam tiap bulannya.
Penerapan WHT di Indonesia ini secara umum didasarkan pada beberapa aturan baku seperti pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) 21, PPh 23, PPh 26, PPh 22, pemotongan PPh 4 ayat (2), dan juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Secara umum, perihal pajak ini diatur dalam UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Selain itu, WHT secara terapan memang ditujukan untuk proses penerimaan pajak secara otomatis dalam jumlah besar dengan meminimalisasi upaya atau proses pemungutan pajak dari pemerintah. Tak hanya itu, WHT juga merupakan mekanisme untuk membuat penerimaan negara dari wajib pajak dapat diamankan serta mengurangi adanya potensi ketidakpatuhan para wajib pajak tersebut.
Di Indonesia sendiri WHT sudah dikenal sejak era pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) dengan mekanisme pemungutan pajak MPO (Menghitung Pajak Orang). Mulanya, WHT hanya berlaku pada jenis penghasilan pasif seperti dividen, bunga, dan royalti dan juga penghasilan seperti gaji dan upah. Hal ini kemudian dikenal pada PPh 23.
Baca Juga: Masih Bingung Bagaimana Cara Pengisian SPT Pajak 2021?
Objek pajak yang termasuk WHT
Berbagai objek pajak dalam WHT diatur sesuai pasal pemberlakuan PPh masing-masing (Sumber: Pexels)
Adapun WHT di Indonesia kemudian dijabarkan lagi melalui berbagai pemotongan PPh seperti yang ada di bawah ini:
1. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 atau PPh pasal 4 ayat (2) merupakan pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan jasa tertentu dan sumber tertentu seperti jasa konstruksi, sewa tanah/bangunan, pengalihan hak atas tanah/bangunan, hadiah undian, dan lainnya.
Dasar hukum dari PPh pasal 4 ayat 2 salah satunya adalah merujuk pada UU No. 7 tahun 1983 yang kemudian diubah lewat terbitnya UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Objek pajak dari PPh pasal 4 ayat 2 ini antara lain meliputi:
- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, objek pajak ini umumnya meliputi proses penjualan, tukar-menukar, perjanjian pindah hak, pelepasan dan penyerahan hak, lelang, hibah, waris, dan cara lain sesuai kesepakatan. Tarif pajaknya berkisar 2,5 persen dari nilai pengalihan atau 0% atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum
- Sewa tanah dan/atau bangunan, objek pajak ini meliputi tanah, rumah, apartemen, perkantoran, dan lain sebagainya. Tarif pajaknya berkisar 10 persen dari nilai persewaan.
- Perjanjian pengikatan jual beli, objek pajak ini secara umum terjadi saat proses jual beli tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.
- Penghasilan dari pelaksanaan konstruksi dan perencanaan/pengawasan atau konsultasi konstruksi. Tarif pajak untuk kontraktor pelaksana berkisar pada 2 persen dari nilai kontrak (usaha kecil), 3 persen dari nilai kontrak (usaha menengah/besar), dan 4% dari nilai kontrak (tanpa kualifikasi usaha).
- Sedangkan untuk perencana dan pengawas konstruksi terdapat tarif pajak 4 persen untuk rekanan dengan kualifikasi usaha dan 6 persen untuk rekanan yang tidak punya kualifikasi usaha.
- Bunga deposito, obligasi dan juga penghasilan dari hadiah seperti lotre atau undian berhadiah.
2. Pemotongan PPh Pasal 15
PPh pasal 15 merupakan tipe WHT yang dikenakan dari wajib pajak yang bergerak di bidang industri penerbangan internasional, asuransi asing, dan pelayaran.
Dalam beberapa kesempatan, PPh pasal 15 umum dilakukan atas charter penerbangan dalam negeri yang dikenakan pada nilai pengganti berupa uang yang diperoleh wajib pajak berdasarkan charter pengangkutan orang atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan/bandara ke pelabuhan/bandara lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan/bandara dari Indonesia ke luar negeri.
WHT dalam PPh pasal 15 ini dikenakan kepada perusahaan penerbangan dalam negeri yang berkedudukan di Indonesia dan memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter. Penghitungan tarif WHT dari PPh pasal 15 ini adalah sebagai berikut:
PPh Terutang = 30% dari Penghitungan Penghasilan Bersih
Penghitungan Penghasilan Bersih = 6% dari Peredaran Bruto Tarif efektif PPh Terutang = 1,8% dari Peredaran Bruto
1,8% berasal dari 30% dikali 6% |
Objek pajak dari PPh pasal 15 ini antara lain dikenakan pada proses pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lain dalam negeri, dari Indonesia ke luar negeri, dari luar negeri ke Indonesia, dan dari luar Indonesia ke luar Indonesia. Selain itu, aturan WHT ini juga berlaku untuk semua nilai pengganti atau imbalan dari jasa pengangkutan orang.barang tersebut.
3. Pemotongan PPh Pasal 21
PPh pasal 21 merupakan pemberlakuan WHT paling umum kepada karyawan perusahaan (Sumber: Pexels)
Dari semua WHT yang umum di Indonesia, PPh pasal 21 adalah pemotongan PPh paling sering dan umum diterapkan oleh berbagai perusahaan. PPh 21 merupakan WHT yang diberlakukan dengan pemotongan gaji pokok oleh beberapa pihak pemotong seperti pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, dana pensiun, pembayar honorarium, dan penyelenggara kegiatan.
Sedangkan penerima penghasilan yang terpotong PPh 21 adalah pegawai, penerima pesangon, pensiun, dan wajib pajak PPh 21 yang tidak masuk kategori pegawai seperti tenaga ahli hingga pemain musik. Wajib pajak yang dikenakan WHT PPh 21 adalah wajib pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan 50 juta rupiah (5 persen), 50-250 juta rupiah (15 persen), 250-500 juta rupiah (25 persen), dan lebih dari 500 juta rupiah (30 persen).
Baca Juga: Perpajakan dan Cryptocurrency: Apa Saja yang Perlu Kamu Tahu
4. Pemotongan PPh Pasal 23
WHT yang kemudian adalah PPh pasal 23 di mana pemotongan dilakukan atas penghasilan yang dibayarkan berupa hadiah, dividen, bunga, royalti, dan lain sebagainya. Pemotongan WHT PPh 23 ini juga berobjek pajak pada penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain/rekanan berupa sewa dan penghasilan lain yang berhubungan dengan penggunaan harta atau kepemilikan seperti kendaraan, sound system, dan lain-lain.
WHT PPh pasal 23 juga dikenakan kepada penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain/rekanan berupa imbalan atas jasa. Tarif umum dari WHT PPh pasal 23 adalah 2 persen dari jumlah bruto (kotor) di luar pajak pertambahan nilai. Jika rekanan atau pihak lain tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) maka akan diberlakukan tarif 100 persen lebih tinggi dari persentase awal.
5. Pemotongan PPh Pasal 22
Pemberlakuan WHT PPh pasal 22 diterapkan pada penghasilan terkait pembelian barang impor (Sumber: Pexels)
WHT PPh pasal 22 merupakan pemungutan pajak atas penghasilan yang dibayarkan terkait praktik pembelian barang. Pemungutan WHT PPh pasal 22 ini didasarkan pada UU PPh, Permenkeu No. 34/PMK. 010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, Permenkeu No. 110/PMK.010/2018, dan Permenkeu No. 231/PMK.03/2019. Objek pajak dari WHT PPh pasal 22 ini secara khusus adalah pembelian barang seperti kendaraan dinas, alat tulis kantor, mebel, komputer, dan sebagainya. Tarif PPh pasal 22 adalah 1,5 persen dari harga beli.
6. Pemotongan PPh Pasal 26
WHT PPh pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia (dalam negeri) atau diperoleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia. Bentuk usaha tetap (BUT) merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya disamakan dengan subjek pajak berbentuk badan.
Objek pemotongan WHT PPh pasal 26 ini diatur dalam UU PPh pasal 26 ayat (1) yang menjelaskan bahwa objek pajak PPh 26 adalah wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia. Pemotongan PPh pasal 26 dapat dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Tarif PPh pasal 26 sendiri adalah 20 persen dari jumlah bruto (kotor) penghasilan wajib pajak berupa dividen, bunga, royalti, imbalan/hadiah, pensiun dan premi asuransi.
Selain itu, penerapan tarif WHT PPh pasal 26 juga dikenakan sebesar 20 persen dari perkiraan penghasilan neto (bersih) yang berupa penghasilan dari penjualan/pengalihan harta di Indonesia, penghasilan dan penjualan/pengalihan saham, dan penghasilan premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Baca Juga: Seluk Beluk Biaya Jabatan dalam PPh 21
Contoh kasus WHT
WHT paling umum diterapkan pada karyawan perusahaan dengan penghitungan PPh 21 (Sumber: Pexels)
Untuk lebih memahami tentang kasus WHT di Indonesia, berikut ini adalah contoh kasus penerapan WHT di Indonesia yang mudah dipahami. Berikut ini adalah contoh kasus dari penerapan WHT pada PPh 21 yang umum terjadi pada karyawan perusahaan beserta perhitungannya.
Putri Wattimena bekerja di sebuah perusahaan bonafide di Jakarta. Dikarenakan belum berkeluarga maka ia tidak mendapat tunjangan keluarga atau TK/0. Gaji pokok Putri adalah Rp 7.000.000 dan gaji kotor per bulannya mencapai Rp 9.000.000 ditambah beberapa tunjangan dan belum dikurangi potongan lainnya. Adapun rincian pendapatan kotor Putri dalam sebulan adalah: Gaji Pokok: Rp7.000.000 Total Pendapatan: Rp9.000.000
Pemotongan Biaya Jabatan 5%: 5% x Rp9.000.000 = Rp450.000 Total Potongan: Rp800.000 Pendapatan Bersih : Rp9.000.000 - Rp800.000 = Rp8.200.000
Penghitungan PPh 21 Gaji bersih setahun: Rp8.200.000 x 12 = Rp98.400.000 Penghasilan Kena Pajak per tahun: Rp98.400.000 - Rp54.000.000 PPh 21 terutang 5% per tahun: 5% x Rp44.400.000 = Rp2.220.000 PPh 21 terutang 5% per bulan: Rp2.220.000 : 12 = Rp185.000 Berdasarkan pada perhitungan di atas, maka PPh 21 yang dikenakan sebagai WHT Putri Wattimena dalam sebulan adalah Rp 185.000 dan langsung dipotong oleh pihak ketiga atau perusahaan tempat Putri bekerja. |
Baca Juga: Begini Cara Menghitung Take Home Pay dengan Benar
Itulah tadi penjelasan singkat dan contoh kasus penerapan WHT terhadap wajib pajak berdasarkan aturan-aturan pengenaan pajak yang berlaku. Bagi kamu yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang hal ini, tentu kamu bisa mencari informasi lainnya terkait penghitungan gaji, take home pay, dan perpajakan lainnya agar pengetahuanmu makin baik. Jika kamu telah memiliki pemahaman yang mumpuni, maka itu saatnya bagimu untuk mulai mencari pekerjaan dengan merintis kariermu sebagai pegawai di bidang finansial perusahaan atau lainnya.
Kamu bisa mencoba untuk merintis kariermu lewat EKRUT karena kamu bisa dipertemukan dengan berbagai perusahaan yang tengah mencari kandidat pegawai sesuai kapasitasnya. Tunggu apalagi? Silakan klik tautan di bawah ini untuk mendaftar lewat EKRUT.
Sumber:
- https://www.investopedia.com/terms/w/withholdingtax.asp
- https://www.pajak.go.id/id/artikel/dua-sisi-withholding-tax-system-di-indonesia
- https://news.ddtc.co.id/menyoal-perluasan-withholding-tax-atas-penghasilan-usaha-13008