Banyak istilah ekonomi yang belum begitu awam di telinga masyarakat. Sanering adalah salah satunya yang akhir-akhir ini populer bersamaan dengan rencana pemerintah memberlakukan redenominasi. Istilah ini ada hubungannya dengan mata uang dan daya beli masyarakat. Untuk memahami apa itu sanering, simak infonya berikut ini.
Apa itu sanering?
Sanering adalah metode pemotongan nilai mata uang (Sumber: Pexels)
Dari situs Kementerian Keuangan, sanering adalah kebijakan pemotongan (nilai) mata uang untuk mengurangi jumlah uang yang beredar. Melalui sanering, harga barang tetap normal tetapi nilai mata uang yang terkena kebijakan sanering jadi turun. Akibatnya daya beli masyarakat otomatis jadi menurun. Bahkan jika pemangkasan nilai mata uang dilakukan secara besar-besaran, maka daya beli masyarakat bisa menurun secara drastis.
Misalnya saja pemerintahan menetapkan kebijakan sanering pada uang dengan pecahan Rp20.000 menjadi Rp200. Ketika kebijakan itu ditetapkan, hanya mata uang Rp20.000 ribu yang terkena imbasnya, sementara mata uang lain tidak. Begitu juga dengan harga produk yang tetap sama.
Ketika kamu membeli paket data yang harganya Rp10.000, maka kamu tidak bisa membayar dengan uang pecahan Rp20.000. Dengan cara ini, kamu yang punya uang pecahan Rp20.000 akan merasa harga barang jauh lebih mahal. Dengan begitu, akan mengurangi jumlah pembelian.
Kapan sanering diberlakukan? Waktu diberlakukan sanering adalah ketika jumlah uang beredar yang terlalu banyak. Saking banyaknya uang yang beredar, otomatis terjadi kenaikan harga barang secara besar-besaran. Jika dibiarkan, situasi ini bisa menyebabkan inflasi jadi lebih parah, karena itu ditetapkanlah sanering. Di Indonesia, sanering pernah terjadi tiga kali, yaitu di tahun 1950, 1959, dan 1965.
Baca juga: Pahami Apa itu Deregulasi? Pahami Kelemahan dan Kelebihannya Hingga 6 Contohnya Di Sini!
Bedanya sanering, redenominasi, dan devaluasi
Sanering berbeda dengan redenominasi ataupun devaluasi (Sumber: Pexels)
Lalu, apa bedanya sanering dengan redenominasi? Keduanya jelas berbeda, karena redenominasi hanya merupakan penyederhanaan digit mata uang, tanpa mengurangi nilai tukar mata uang atau harganya. Harga barang pun otomatis akan ikut disederhanakan digitnya.
Misalnya uang Rp1.000 akan disederhanakan menjadi Rp1. Ini tidak akan mengubah nilainya. Jadi, semua mata uang dan harga barang akan mengurangi digit. Ini dia perbedaan sanering dan redenominasi jika dijabarkan dengan tabel:
Perbedaan | Redenominasi | Sanering |
Nilai Uang | Rp 10 | Rp 10 |
Harga | Rp 10 | Rp 10.000 |
Sedangkan devaluasi lebih mendekati sanering karena sama-sama menurunkan nilai mata uang. Hanya saja, tujuannya berbeda. Devaluasi khusus diberlakukan untuk memotong nilai tukar dari mata uang asing. Misalnya, di Indonesia terjadi di tahun 1972 dimana pemerintah memberlakukan nilai rupiah dari Rp378 menjadi Rp415 per $1.
Tujuan devaluasi adalah meningkatkan nilai ekspor agar tercipta peningkatan produksi dari dalam negeri. Sementara tujuan sanering adalah menurunkan daya beli masyarakat akibat terlalu banyak uang yang beredar di masyarakat.
Baca juga: Memahami Perbedaan Resesi dan Depresi
Dampak sanering
Sanering punya dampak positif dan negatif (Sumber: Pexels)
Sanering bisa menghasilkan dampak positif dan negatif. Jika dilakukan dengan tepat dan terukur, maka sanering adalah kebijakan yang mampu membantu negara memperbaiki kondisi perbaikan yang menurun. Ini karena sanering mampu menekan laju inflasi. Jika jumlah uang beredar terlalu banyak, maka dengan adanya sanering masyarakat akan mengerem pembelian dan jumlah uang yang beredar pun berangsur menurun.
Namun tak jarang, diberlakukannya sanering justru menghasilkan dampak yang tidak sesuai harapan, terutama kalau sosialisasinya tidak dilakukan dengan baik. Karena masyarakat tidak terlalu paham, maka bisa disalahartikan. Bukannya menekan daya beli, masyarakat justru akan berlomba-lomba untuk membelanjakan uangnya sebelum sanering diberlakukan. Jadi, jumlah uang yang beredar pun lebih banyak.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Minus, Mungkinkah Resesi?
Kelemahan kebijakan sanering
Salah satu kelemahan sanering adalah masyarakat kecil akan jauh lebih kesulitan (Sumber: Pexels)
Sanering adalah salah satu kebijakan yang pernah diberlakukan di Indonesia pada zaman dahulu. Berdasarkan pengalaman, sanering justru berdampak memperburuk kondisi ekonomi. Ini dikarenakan belum adanya media untuk sosialisasi yang cepat dan bisa diandalkan. Informasi yang sampai ke masyarakat jadi hanya setengah-setengah. Jadi, sebenarnya kelemahan ini kemungkinannya kecil kalau terjadi di masa modern sekarang ini.
Meski begitu, bukan berarti kebijakan sanering benar-benar lepas sama sekali dari kelemahan, sebab masih ada beberapa kelemahannya yang perlu jadi perhatian. Di antara kelemahan sanering adalah sebagai berikut:
- Kemungkinan nilai mata uang rupiah menurun terhadap mata uang asing besar.
- Masyarakat kecil akan mengalami kesulitan ekonomi yang lebih jauh, mengingat masih banyak rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia, jumlahnya bisa bertambah karena diberlakukannya sanering.
- Daya beli masyarakat akan menurun drastis sehingga bisa merugikan banyak pihak, terutama para pengusaha dan mereka yang bekerja untuk pengusaha tersebut. Jadi, makin banyak lapisan masyarakat yang akan terdampak.
- Berkurangnya nilai mata uang tentu akan berdampak pada pembangunan ekonomi nasional. Pemerintah harus lebih dulu mengatasi dampak yang diakibatkan oleh kebijakan sanering. Akibatnya pembangunan ekonomi pun terlantar.
Baca juga: Apakah Mata Uang Digital dapat Mengatasi Inflasi?
Contoh sanering di Indonesia
Indonesia tercatat 3 kali melakukan sanering (Sumber: Pexels)
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pemerintah Indonesia sudah pernah memberlakukan sanering sebanyak 3 kali. Semuanya terjadi di masa Orde Lama, di mana saat itu Indonesia baru merdeka dari penjajahan yang berlangsung ratusan tahun. Tentu saja belum ditemukan formula yang tepat dan kondisi perekonomiannya masih sangat lemah. Beberapa contoh sanering adalah sebagai berikut.
1. Kebijakan sanering 1950
Kebijakan pertama sanering adalah di tahun 1950 yang terjadi dengan sangat unik. Dari penamaannya saja adalah “Gunting Syarifudin”. Aksinya memang benar-benar menggunting uang kertas menjadi dua bagian, yaitu kanan dan kiri. Kebijakan ini diberlakukan tanggal 19 Maret 1950. Jadi, uang kertas yang digunting nilai awalnya adalah Rp5, setelah digunting nilainya menjadi Rp2.5. Kemudian, bagian kanan uang tersebut sudah tidak ada nilainya, sementara yang masih bisa digunakan adalah bagian kirinya saja.
2. Kebijakan sanering 1959
Berikutnya kebijakan sanering adalah di tahun 1959. Bedanya, sanering yang kedua sudah tidak dilakukan dengan aksi gunting uang. Diberlakukan tanggal 25 Agustus 1959, pemerintah mengurangi nilai dua mata uang yang beredar saat itu. Uang Rp1.000 yang dinamakan gajah turun menjadi Rp100, sedangkan uang Rp500 yang dinamakan macan turun menjadi Rp50.
3. Kebijakan sanering 1965
Tepat di tanggal 13 Desember 1965, kebijakan sanering yang ketiga diberlakukan. Uang Rp1.000 nilainya turun menjadi Rp1, yang berupa uang baru. Jadi, ketika kamu memegang uang pecahan Rp1.000, nilainya ketika sanering adalah setara dengan dengan Rp1. Dengan cara ini, mata uang yang beredar di pasaran langsung terkuras nilainya.
Baca juga: Bukan USD, Berikut Deretan 9 Mata Uang Tertinggi di Dunia!
Itulah pembahasan lengkap soal sanering. Kamu juga bisa temukan berbagai artikel menarik lainnya di EKRUT Media. Informasi dan tips menarik tersedia pula di YouTube EKRUT Official. Jika kamu tertarik mendapatkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan karier, sign up EKRUT sekarang juga. Hanya di EKRUT, kamu dapat memperoleh berbagai peluang kerja yang dapat disesuaikan dengan minatmu.
Sumber:
- bareksa.com
- katadata.co.id
- kemenkeu.go.id
- finance.detik.com