Salah satu platform sewa menyewa hotel dari India, yakni OYO, dikabarkan sedang mengalami ketidakstabilan bisnis karena manajemen bisnis yang keliru. Kabar itu didapatkan berdasarkan pengakuan dari para karyawan, serta mantan karyawan yang sudah mengundurkan diri dari perusahaan tersebut.
Salah satu buntut dari permasalahan itu adalah, saat OYO mengalami kerugian sebesar USD 332 juta pada Maret 2019 lalu. Melalui kerugian ini harusnya OYO waspada agar nasibnya tidak berakhir seperti WeWork. Bila kesalahan yang sama terulang lagi oleh OYO maka, ini berarti Softbank sebagai penopang dana paling besar di OYO mungkin akan mengalami kekecewaan untuk kedua kallinya.
Baca juga: Belajar dari kegagalan perusahaan Unicorn WeWork
Mengenal sejarah keberadaan OYO
Ritesh Agarwal Founder & CEO OYO-EKRUT
Perusahaan OYO Hotel and Homes berawal dari kehadiran sebuah situs bernama Oravel Stays milik Ritesh Agarwal. Pada 2012 silam, Agarwal yang masih berusia kurang dari 20 tahun ini, telah mencoba menawarkan hotel-hotel kecil dan murah yang tadinya dikelola oleh keluarga dengan mendaftarkan hotel tersebut di situs miliknya.
Situs Oravel Stays memang dirancang untuk memungkinkan pelanggan mendaftar dan memesan akomodasi beranggaran murah, di mana idenya memang untuk memberikan pengalaman menginap yang nyaman serta irit dikantong bagi para pelancong. Hingga pada akhirnya 2013 silam, Agarwal mengubah nama Oravel Stays menjadi OYO Hotel and Homes. Dari sana perusahaan tidak hanya meminjamkan mereknya, tetapi juga memberikan pelatihan staf in house untuk memastikan keseragaman layanan serta memberikan komisi sebesar 20 persen dari nilai pemesanan.
Sejak berdiri 7 tahun lalu hingga sekarang, OYO sudah mengumpulkan pendanaan hingga seri F dengan jumlah mencapai USD 1.5 milyar. Pendanaan OYO banyak ditopang oleh investor ngetop seperti Lightspeed Venture Partners, Sequoia Capital, Greenoaks Capital Partners hingga Softbank Group.
Di antara semua daftar investor tersebut, Softbank menguasai hampir setengah saham awal di OYO. Melalui pendanaan itu juga, OYO telah banyak melakukan ekpansi bisnis dengan membuka jaringan hotel di luar negeri seperti di Inggris, Singapura, Malaysia, Spanyol, Jepang, Thailand, Mexico, Amerika, Arab Saudi termasuk Indonesia.
Bila ditotal, OYO telah tersebar di 80 negara dengan jumlah kamar mencapai 1.2 juta serta memiliki 20.000 orang pegawai. Dengan pencapaian tersebut, rencananya perusahaan berniat untuk menjadikan dirinya sebagai jaringan hotel terbesar di dunia pada 2023 nanti.
Baca juga: Berada di ambang kehancuran, WeWork diselamatkan SoftBank
Kontroversi Manajeman OYO
OYO diterpa gosip miring dengan kegagalan manajemen bisnisnya-EKRUT
Sayangnya sebelum rencana itu terwujud, OYO harus diterpa gosip miring. Beberapa karyawan telah mengungkapkan bahwa manajemen bisnis mengalami penurunan. Salah seorang Chief perusahaan dan sembilan karyawan yang tidak disebutkan namanya memberikan pengakuan dalam salah satu artikel The New York Times. Mereka mengatakan bahwa, perusahaan telah memasukan daftar hotel yang tidak lagi tersedia sehingga menggelembungkan jumlah kamar yang ada di situs OYO.
Selain itu, banyak dari hotel dan wisma yang terdaftar di OYO ternyata tidak berlisensi resmi, dan untuk mencegah penindakan atas hal tersebut OYO memberikan tawaran menginap gratis bagi polisi dan aparatur yang berwenang. Perusahaan juga mengenakan biaya tambahan untuk hotel-hotel dan menolak untuk membayar penuh atas klaim masalah layanan pelanggan. Sampai menyebabkan beberapa pemilik hotel mengajukan laporan ke pengadilan terhadap OYO.
Para karyawan yang masih bekerja di OYO juga sempat mengeluh, terkait tekanan kerja yang semakin besar dalam kurun waktu setahun terakhir. Salah satunya karena ada tekanan target untuk terus menambah jumlah kamar yang baru. Karyawan pun akhirnya asal memasukan kamar dari hotel yang tidak memiliki fasilitas layak seperti tidak memerhatikan adanya air panas, listrik dan AC. Karyawan juga terkadang memanfaatkan kamar OYO untuk berkencan dengan pacar mereka, dan baru mengijinkan para tamu check in setelah mereka pergi.
Bahkan pada Juni 2019 lalu, telah terjadi pemerkosaan di hotel OYO terhadap seorang tamu wanita yang menginap di sana. Kejanggalan lain menyebutkan bahwa, manajer perusahaan meminta karyawan untuk memasukan properti yang tidak tersedia dan foto properti palsu untuk membuat investor terkesan.
Peran OYO di Indonesia
OYO dipercaya oleh Kemenkeu untuk atur apartemen milik negara- EKRUT
Di Indonesia sendiri pemerintah melalui Menteri Keuangan di bawah Lembaga Managemen Aset Negara (LMAN), telah menunjuk OYO dan Red Doors untuk mengelola aset apartemen negara yang nilainya mencapai Rp 6.000 triliun. Tujuan dari pengelolaan aset oleh dua perusahaan tersebut adalah untuk memanfaatkan teknologi dalam mengelola aset itu. Tidak terbatas di OYO dan Red Doors, pemerintah juga membuka akses yang luas terhadap perusahaan jaringan hotel lainnya. Lantas, dengan adanya kontroversi terhadap kebijakan bisnis OYO di India, apakah keputusan pemerintah ini dianggap tepat? Sejauh ini pemerintah belum menjelaskan kembali secara rinci sampai mana kerja sama tersebut sudah berjalan.
Rekomendasi Bacaan:
- Adam Neumann mundur dari kursi jabatannya sebagai CEO WeWork
- Traveloka dan Tiket.com dominasi agen travel online
- Mengenal ragam istilah pendanaan dalam dunia startup
Sumber:
- ForbesIndia
- TheNewYorkTimes