Commonwealth Bank of Australia (CBA) belum lama ini mendapat mandat dari Bank Dunia untuk menerbitkan obligasi pertama dengan teknologi blockchain. Obligasi tersebut dinamakan Bond-i. Tujuan penerbitan obligasi ini untuk memudahkan peningkatan modal dan proses perdagangan.
Bank Dunia dan CBA mengklaim, permintaan terhadap instrumen utang yang dioperasikan dengan teknologi blockchain ini sangat besar. Sebab, teknologi blockchain dianggap aman karena lebih sulit untuk diretas dan prosesnya cepat. Bank Dunia menjelaskan, teknologi ini secara aman mencatat semua transaksi pada rantainya.
Bond-i libatkan banyak pihak
Executive General Manager CBA, James Wall mengungkapkan, bank asal Australia tersebut melakukan pendekatan kolaboratif bersama lembaga keuangan terkemuka, badan pemerintah, serta perusahaan lain. Tujuannya, untuk menciptakan inovasi melalui blockchain. Instrumen investasi Bond-i tersebut baru akan diluncurkan Bank Dunia dan CBA setelah proses konsultasi dengan para investor.
Hingga saat ini, memang belum ada informasi mengenai jumlah maupun tanggal penerbitan obligasi tersebut. Kelak, obligasi ini akan dikeluarkan dan didistribusikan pada platform blockchain. Bank Dunia dan CBA yang akan mengoperasikan platform ini.
Baca juga: Blockchain dan efisiensi industri
Obligasi blockchain janjikan efisiensi
Mulanya, penggunaan blockchain oleh CBA muncul ketika Australian Securities Exchange berencana menerapkan teknologi yang sama untuk memotong biaya perdagangan ekuitas pada tahun 2020. Ternyata, rencana penerbitan obligasi blockchain tersebut mendapat respons positif dari berbagai pihak.
Sebab, blockchain menjanjikan penyederhanaan proses dengan memangkas keberadaan perantara dan agen pasar modal utang. Langkah ini dapat membantu penghimpunan dan perdagangan modal, sekuritas perdagangan, sekaligus meningkatkan efisiensi operasional dan pengawasan regulator.
Obligasi negara berkembang capai triliunan rupiah
Selama ini, Bank Dunia sudah menghabiskan dana sebesar US$ 50 miliar (Rp 725 triliun) sampai US$ 60 miliar (Rp 870 triliun) per tahun untuk menerbitkan obligasi di negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, Direktur Informasi Bank Dunia, Denis Robitaille berharap obligasi rintisan ini dapat menjadi upaya untuk memberi saran kepada klien-klien negaranya mengenai kesempatan dan risiko dari teknologi disruptif.
Baca juga: Blockchain dan masa depan negara berkembang
Bagaimana pendapatmu mengenai obligasi dengan teknologi blockchain ini? Apakah sebagai negara berkembang, Indonesia juga akan memperdagangkannya?
Sumber:
- kontan.co.id
- computerworld.com.au
- wartaekonomi.co.id
- cnbcindonesia.com